Misteri samurai dan pemiliknya

Dan Berikut ini adalah contoh Tanto/Kodachi (belati Samurai):

Spoiler for Tanto:

 
 
 
 
 
 
 


Toyotomi Hideyoshi adalah Shogun yang mengeluarkan aturan untuk melestarikan senjata khas kalangan samurai, yaitu dengan memberikan ketentuan pemakaian pedang Daisho (yaitu membawa sepasang pedang: Katana dan Wakizashi). Jadi hanya kalangan samurai sajalah yang diizinkan untuk memakai dua pedang. Pedang pendek dapat digunakan oleh setiap orang, sedangkan pedang panjang hanya digunakan untuk kalangan ksatria / bangsawan militer atau lebih dikenal dengan istilah golongan samurai.

Di bawah ini adalah lukisan / gambar Toyotomi Hideyoshi 

Spoiler for toyotomi hideyoshi:




Ada empat kelompok strata / kelas sosial masyarakat Jepang, yaitu: samurai, petani, seniman dan pedagang / saudagar. Samurai merupakan golongan yang memegang status / strata masyarakat yang tertinggi, karena termasuk dalam golongan bangsawan, golongan militer, golongan terpelajar, penguasa, pegawai negara dan ksatria. Keturunan samurai (baik laki-laki maupun perempuan) dengan sendirinya masuk kedalam golongan bangsawan militer, tanpa memandang apakah mereka pernah mengangkat pedang atau tidak.
 

Namun peran samurai tidak semata-mata terbatas pada bidang militer saja. Beberapa samurai juga banyak yang menjadi cendikiawan termahsyur, ada yang berkiprah sebagai administrator sipil dan militer, seniman, pakar estetika dan bahkan seringkali dalam bidang politik. Namun semuanya dituntut untuk akrab dengan peran status mereka dalam keadaan perang.
 

Bagi anak-anak samurai, pelatihan untuk hidup keprajuritan yang akan mereka jalani dimulai sejak dini, bahkan sejak lahir, apabila ada tanda-tanda bahwa bayi itu nantinya kidal. Di Jepang, yang mengutamakan penyesuaian diri, tidak boleh ada orang yang kidal, kekidalan adalah suatu aib yang tidak dapat diterima. Jika ada kemungkinan seorang anak akan mengalami kekidalan maka lengan kirinya akan diikat, semua barang akan ditempatkan dalam jangkauan tangan kanan, dan segala sesuatunya akan dilakukan dan diupayakan untuk menghilangkan sifat kidal tersebut.
 
 
Antara usia tujuh dan delapan tahun, anak-anak samurai didorong untuk bersikap baik dan kooperatif terhadap rekan-rekan bermain mereka, dan diajarkan agar menjauhi sikap suka berkelahi maupun terlalu mementingkan diri sendiri. Pada usia sembilan dan sepuluh tahun, mereka lebih memusatkan perhatian kepada subjek-subjek akademis seperti belajar dan menulis. Bagian pendidikan yang serius berlangsung antara usia sepuluh dan dua belas, ketika seorang anak dapat menghabiskan waktu sampai dua belas jam sehari untuk berbagai mata pelajaran, mulai dari menekuni ilmu-ilmu abstrak, filsafat, jasmani termasuk bela diri khusunya kendo / berlatih pedang, hingga belajar alat musik. Banyak para samurai muda diantaranya yang berumur kisaran tiga belas sampai empat belas tahun yang mulai diikut sertakan dalam pertempuran / medan perang.
Spoiler for perang:








“Jalan samurai dapat ditemukan dalam kematian”, pepatah sederhana itu sering dikutip atau diungkapkan dalam karya-karya mengenai sejarah Jepang, yang menekankan konsep kewajiban para samurai. Kematian di medan laga adalah ambisi yang terhormat. Para petarung seringkali terjun ke suatu pertempuran dengan menyadari bahwa kematian tidak terelakkan. Ada sejumlah hal yang lebih buruk dan menyedihkan dibandingkan kematian, yaitu: gagal melayani tuannya dengan baik, gagal dalam menjalani misi yang diemban, atau membawa aib kepada marga, junjungan / bahkan dirinya sendiri. Jika terluka parah dalam perang, seorang samurai pada umumnya akan lebih memilih bunuh diri daripada membiarkan dirinya ditawan musuh atau mendapat malu karena menderita oleh rasa sakit yang dialaminya. Mereka beranggapan bahwa mereka toh akan mati juga, jadi bunuh diri dipandang sebagai kematian dengan cara mereka sendiri, yaitu mati dengan membawa harga diri dan kehormatan yang tetap utuh.
 

Cara bunuh diri yang paling banyak dipilih ialah seppuku / dikenal juga dengan harakiri. Bunuh diri menjadi pilihan dalam berbagai situasi, dan mungkin paling dikenal sebagai bentuk hukuman, selain itu bunuh diri juga merupakan cara menebus suatu kesalahan secara sepenuhnya sukarela. Biasanya ritual bunuh diri (seppuku/hara-kiri) yang resmi dilakukan dengan menggunakan wakizashi. Harakiri berasala dari Kata hara yang berarti perut dan kiri yang berarti memotong, secara harfiah berarti memotong / merobek perut. Kebiasaan harakiri ini dilakukan oleh prajurit berkelas tinggi dari kalangan samurai sebagai bukti kesetiaan. Bunuh diri yang dilakukan para samurai ini sangat menyiksa, karena si pelaku harus menunggu kematian karena kehabisan darah setelah merobek dan mengeluarkan isi perutnya.
 

Di bawah ini adalah ilustrasi dari ritual Harakiri/Seppuku yang dilakukan oleh Samurai : 

Spoiler for harakiri:





Ada ritual khusus yang harus dilakukan oleh samurai jika ingin melakukan hara-kiri, yaitu; ia harus mandi, menggunakan jubah putih, dan makan makanan favoritnya. Namun aturan ini tidak mutlak / tidak wajib untuk dilaksanakan.
 

Secara aturan tradisional seharusnya ada seorang asisten / pendamping (kaishakunin) yang dipilih oleh samurai yang akan melakukan harakiri, yang siap membantu untuk memenggal kepala sang pelaku hara-kiri hingga terlepas dari batang lehernya dengan katana. Jika pelaku harakiri menjerit atau menangis kesakitan saat ia menusuk dan mengeluarkan isi perutnya, hal tersebut dianggap sangat memalukan bagi seorang samurai. Karena itu Kaishaku bertugas mengurangi penderitaan itu, mempercepat kematian dengan memenggal kepala si pelaku.
 

Ritual seppuku/hara-kiri yang lengkap terdiri dari dua sayatan diperut, sayatan pertama mendatar dari kiri ke kanan, melintang pada perut di bawah pusar, kemudian sayatan yang kedua mengarah keatas dari bawah pusar, hingga seluruh isi perutnya terburai keluar. Namun pada kenyataannya sebagian besar samurai hanya sempat melakukan sayatan pertama sebelum akhirnya dipenggal. Tetapi adapula samurai yang hendak membuktikan ketegarannya, dan memerintahkan pendampingnya untuk menunggu sampai sayatan kedua selesai dilakukan. Tanpa didampingi asisten, maka kematian yang lama dan menyakitkanlah yang menanti. Karena alasan inilah mereka yang tidak didampingi siapapun seringkali memotong leher sendiri setelah melakukan satu atau dua sayatan tadi.
 

Kaum perempuan dari golongan samuraipun melakukan bunuh diri dengan aturan dan cara tersendiri, yang dinamakan dengan ojigi. Mereka harus menusukkan belati kedalam tenggorokan, atau menghujamkannnya ke dada. Kaum perempuanpun seringkali saling membantu dalam melakukan ritual bunuh diri.
 

Obsesi kepada kematian (terutama bunuh diri) menegaskan keseluruhan konsep kesetiaan yang berapi-api sebagai kekuatan pemotivasi. Para samurai diharapkan untuk setia dan bersedia mengorbankan jiwa dan raga demi tuan / junjungan mereka. Apa saja yang diminta oleh sang junjungan, itulah yang menjadi tuntutan dan kewajiban untuk dilakukan. Sejarah kehidupan samurai penuh dengan kisah kesetian dan keperwiraan di hadapan maut. Perlu ditekankan bahwa kesetiaan yang sangat fanatik seperti ini hanya lazim bagi samurai yang terlahir dalam satu marga, atau yang keluarganya secara turun temurun mengabdi menjadi pengikut marga tersebut.
 



Sumber : http://www.klikunic.com/2012/02/misteri-samurai-dan-pemiliknnya.html
Facebook Comment :



Artikel Terkait:

0 comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...